Ending Yang Mengharukan
...
Halimah mengikuti Rizqaan dari belakang. Rizqaan duduk di
sisi sebelah kiri dari arah depan, sementara Halimah di sebelah kanan meja.
Mereka duduk sejajar, namun di antar mereka ada sebuah meja yang membatasi.
Halimah langsung membuka pembicaraan.
“Abuya..”
“Maaf, aku belum menjadi suamimu lagi..” Sela Rizqaan.
“Izinkan aku tetap memanggilmu abuya. Aku tak terbiasa
dengan panggilan lain.”
“Baiklah. Ada
apa adinda?”
“Abuya. Abuya siap menikahiku lagi?”
“Adinda Halimah, kenapa aku tidak siap? Dari dulu aku tak
pernah berniat menceraikanmu. Aku senantiasa mencintaimu. Hanya karena kita
bukan lagi suami istri, aku selalu minindih rasa cintaku itu sekuat mungkin.
Tapi bila diberi kesempatan menikahimu lagi, aku tak mungkin menolak.”
...
“Dokter mengklaim, bahwa usiaku tak akan lebih dari 3-4
bulan saja..” kembali Halimah menangis.
...
...
Saat itu juga, mereka masuk. Lalu tanpa menunggu waktu
lama, mereka dinikahkan….
...
...
“Berjanjilah abuya…”
“Aku berjanji adinda. Tanpa berjanji pun, ketaatan kepada
Allah adalah janji seluruh manusia saat mereka berada dalam perut ibu mereka.”
Ujar Rizqaan
“Alhamdulillah….”
“Abuya… tabir itu mulai terbuka… Aku mencintaimu, abuya. Abuya
tak perlu meragukan cintaku. Tapi aku lebih merindukan Allah. Bila ini
kesempatanku bersua dengan-Nya. Aku tak akan menyia-nyiakannya sedikitpun….”
“Adinda…”
“Laaa ilaaaaha illlallah … muhammadurrasulullah…”
“Adinda…”
“Laaa ilaaaaha illlallah … muhammadurrasulullah…”
“Laaa ilaaaaha illlallah … muhammadurrasulullah…”
“Laaa ilaaaaha illlallah … muhammadurrasulullah…”
Suara tahlil itu mengalun lembut dan syahdu dari mulut
Halimah. Terus menerus. Semakun lama, semakin lemah. Namun semakin syahdu.
Sampai akhirnya suara terakhir terdengar, masih sama, “Laaa ilaaaaha illlallah
… muhammadurrasulullah…”
Usai berakhirnya suara itu, nafas Halimah terhenti. Di
tengah keheningan kamar di rumah mereka, yang masih tercium bau catnya, karena
belum lama dibangun, Halimah menghembuskan nafas terakhirnya. Sang Ibu
menjerit. Sang bapak menangis. Rizqaan juga tak kuasa menahan air matanya yang
tiba-tiba mengalir deras. Pernikahannya dengan Halimah yang merupakan masa
kembalinya kebahagiaannya yang beberapa saat nyaris lenyap, kini nyaris
terenggut kembali. Tapi kepergian Halimah dengan kondisi yang menyemburatkan
aura Surga, membuat hatinya terasa nyaman. Ia bersedih, tapi juga berbangga
dengan istrinya. Kesedihannya pupus perlahan karena rasa bangga bercampur rasa
iri yang menyejukkan jiwa. Betapa berbahagianya Halimah.
Tak lama kemudian, adzan Magrib terdengar. Mereka
mendengarkannya dengan khusyu’. Saat lantunan adzan berhenti, bapak
Halimah mendekati Rizqaan. Ia menatap menantu yang sekian lama ia kecewakan.
Sekian lama ia perangkap dalam kesukaran dan penderitaan. Pria yang -dengan
izin Allah- telah mengubah wujud putrinya, sehingga menjelma menjadi wanita
shalihah begitu setia pada kebenaran. Ia menatap pemuda itu. Air matanya
menetes tak terbendung. Penyesalan membuncah hingga nyaris membakar otak. Ia
nyaris bisu dalam suasan hati yang kuyup penyesalan.
“Duhai, seandainya aku masih memiliki putri yang lain.
Pastilah aku akan menikahkannya denganmu, ananda,” ujar bapak Halimah, kepada
Rizqaan.
“Halimah, sudah cukup bagiku pak. Nikahkanlah aku kembali
dengan putrimu itu pak?”
“Aku sudah melakukannya dua kali ananda…”
“Cobalah untuk ketiga kalinya pak…” ujar Rizqaan lirih.
“Itu bukan lagi hakku ananda. Biarlah Allah yang akan
menikahkanmu dengannya di Surga kelak. Relakanlah kepergiannya saat ini. Semua
kita toh pasti akan mati juga. Gapailah Surga dengan amal ibadahmu. Dengan
ketulusan hatimu. Hanya dengan itu Allah akan berkenan mempertemukan dirimu
kembali dengannya…”
Rizqaan tersenyum,
...
Inilah
cuplikan dari buku Sandiwara Langit, yang ditulis
oleh seorang Ustadz, Abu Umar Basyier, yang merupakan kisah nyata yang
pernah
sampai kepada beliau, sebagaimana yang beliau paparkan di akhir buku
ini. Kisah seorang Rizqaan yang menikahi Halimah, dengan dipersyaratkan
oleh bapaknya untuk memberikan kemapanan hidup selama 10 tahun, atau
bila tak terpenuhi ia harus menceraikannya. Jatuh bangun Rizqaan untuk
memenuhi syarat tersebut -dari usahanya menjajakan roti keliling-,
hingga ia -hampir- memenuhinya, namun qadarullah, Allah berkehendak lain
atas kemapanan hidup yang diberikan Rizqaan, sehingga ceraipun tak
terelakkan. Sungguh 10 tahun bukanlah waktu yang singkat, tuk dapat
merelakan perceraiannya dengan istri tercinta. Namun Allah mempunyai
maksud tersendiri atas "Sandiwara" ini, dan cuplikan diatas adalah
sekilas cuplikan dibalik kehendak-Nya yang Maha Bijaksana.
Alangkah tepatnya judul buku ini “Sandiwara Langit”, dan
itulah makna kehidupan. Dimana semua jiwa yang pernah “hidup”, seolah-olah ia
sedang menjalankan perannya di dunia, yang tentu bukan sekedar peran biasa,
peran yang kita semua tak ketahui alur ceritanya, peran yang seluruh adegannya
terasa oleh jiwa, tertanam dalam hati, dan tersimpan dalam ingatan, peran yang
jauh dari kepura-puraan yang tak diketahui oleh Sang pemilik Sandiwara, peran yang
diberikan oleh Sang Maha Pencipta, yang Dia tak sekedar menciptakan ceritanya,
bahkan kepada setiap jiwa yang berperan di dalamnya, peran yang berujung kepada
hisab (perhitungan) dan tanggung jawab yang berpulang kepada mereka yang memerankannya,
bukan kepada Dzat yang Maha memiliki Kesempurnaan lagi Maha Mencipta, karena inilah "Sandiwara Langit".
Inilah buku, yang sarat akan hikmah dari sebuah cuplikan
“Sandiwara Langit” dari sekian banyak “Sandiwara-sandiwara” yang ada, termasuk
sandiwara yang kita berperan didalamnya, dimana satu peran terkadang memerankan
“cerita sandiwara” yang lebih baik dari “cerita” peran lainnya. Namun demikian
bagaimanapun “cerita” yang diperankan, semua terkandung pelajaran, dan itulah
hikmah kehidupan, termasuk Sandiwara yang dipaparkan dalam buku ini. Penulis
seolah ingin menyampaikan, nilai-nilai hikmah sebagai penyubur keimanan kita,
dalam bentuk sebuah kisah Nyata. Karena terkadang hati dan pikiran, terasa
lelah dan jenuh dengan buku-buku Hikmah yang tersaji dalam bentuk sistematis,
bab-per-bab, terlebih bila disajikan dengan ketegasan manakah yang halal dan
yang haram. Penulis seolah-olah hendak menyajikan sebuah saung peristirahatan,
namun dengan tetap me-langlang buana-kan
hati dan akal pembacanya sembari memetik hikmah disetiap kisahnya.
Adakah yang
ingin menghirup aroma satu dari sekian banyak hikmahnya "Sandiwara Langit"?
Profil buku:
Judul : Sandiwara Langit, Sebuah Kisah Nyata Bertabur
Hikmah Penyubur Keimanan
Buku best seller, hingga Januari 2012 telah dicetak hingga
cetakan ke-12
Penulis : Abu Umar Basyier (bukan Abu Bakar Ba’asyier,
pemimpin pesantren Ngruki itu lho..)
Penerbit :Shafa Publika
Tebal : xix + 212 hal, soft-cover
Tambahan : telah terbit juga Sandiwara Langit 2, “Meniti
Diatas Kabut”
Harga Katalog : Rp. 28.000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan bagi ikhwan/pengunjung sekalian untuk menuliskan komentar, pertanyaan, konfirmasi atau pemesanan.